Haruskah?

Mungkin saatnya sudah tiba. Sudah tiba waktunya untuk menyerah kalah. Atau mengalah saja, karena lelah menghadapi kenyataan yang dipenuhi kegilaan. Yang diamini sebagai bahtera bersama menuju akhir yang bahagia.

Dunia bukan hanya ladang bagi sekelompok penggembala psikopat yang menggiring ternaknya dengan suka ria, membuaikan senandung penuh kasih. Seakan mereka akan berakhir dengan pesta pora keabadian, tapi nyatanya hanya ujung belati jua lah yang siap menggorok mati leher para binatang malang itu. Mengakhiri mimpi basah para jiwa yang salah kaprah.

Sudahlah. Biarkan mereka berpesta. Sampai tiba waktunya mereka saling menghabisi. Hingga nanti tiada lagi ladang hijau yang menyejukkan bagi semesta. Yang tinggal hanyalah ladang gersang penuh aroma kematian yang semerbak menyeruak.

Sebagai prasasti keagungan penghancuran yang abadi.

Fucked

Bertanya-tanya terus tanpa menemukan jawaban. Menjawab sendiri jadi gila sendiri. Antara kecewa dan pura-pura baik-baik saja. Setengah gila tapi enggan jadi gila.

Katanya harus begini, jangan begitu. Kalau mau maju jangan ragu-ragu. Berani maju tapi tak kemana-mana juga akhirnya. Mentok. Kepentok lagi. Dipentokin lagi.

Maunya apa lagi harusnya bagaimana lagi. Apa lagi yang harus dilakukan, apa yang seharusnya jangan dilakukan. Berpikir ini itu, makin bingung. Apalagi? Tidak tahu lagi. Lagi-lagi bingung sendiri.

Menghadap tembok.

Bicara sendiri.

Nothing. No more.

Kebaikan. Berlebihan. Fana. Mimpi belaka dari harapan akan sisa-sisa sifat manusia yang katanya lebih berbudi dari sisa penghuni bumi. Bahkan seisi alam semesta. Katanya.

Iya. Hanya katanya. Ketika semua cuma berlomba-lomba menang sendiri. Mau senang tak peduli caranya. Tak penting bagaimana. Sekalipun manusia lain yang serupa dengannya harus terinjak-injak. Atau memang sengaja diinjak-injak.

Selalu ingin lebih dahulu. Untuk maju. Untuk dapatkan apa yang dimau. Tendang sana sikut sini. Tabrak. Hancurkan. Buat apa pakai hati lagi, tidak perlu bicara nurani. Katanya hidup cuma satu kali.

Tapi kalau soal mati? Semua mundur sejuta langkah. Lari. Bersembunyi macam cecurut sialan. Ketakutan seperti dikejar setan jahanam. Bersembunyi di selangkangan kesombongannya.

Merasa baik?

Berkaca lagi.

Too Damn Much

Satu tertunda. Lalu yang lain ikut tertunda. Kenapa? Alasannya ada di mereka. Cuma mereka yang tahu kenapa.

Yang ada jadi hilang. Dicuri orang. Orang yang mau senang sendiri tapi tidak mau usaha sendiri. Bajingan-bajingan tak punya malu yang mengaku manusia.

Berat. Tidak sama sekali ringan lagi. Setengah gila walau pura-pura tidak gila. Berusaha tersenyum setengah hati walau susahnya setengah mati.

Apa lagi yang akan terjadi? Siapa yang tahu. Tidak mau tahu lagi.

Terserah.

Act

Ada saatnya berbaik sangka sebelum menghadapi realita. Merasakan pahitnya kecewa.
Ada saatnya bersabar sebelum tersakiti dan merasakan perihnya luka yang menganga.
Ada saatnya amarah muncul sebelum dendam yang membara.

Ada saatnya kata-kata tidak lagi bermakna.

Ada saatnya darah harus tertumpah.

Sampai mendapatkan apa yang sepantasnya didapatkan.

The Oath

Dia yang terbaring lemah. Menanti yang harusnya diraih sejak lama tapi ditahan tangan-tangan jahanam sang penguasa. Iblis berkedok manusia. Setan rakus yang memakan hak orang banyak sampai remah terkecil. Menguras keringat mereka macam budak-budak hina yang tak berharga.

Di sisa nafasnya yang tersengal di sela-sela detak amarah, emosi dan tangis yang tercekat sang tertindas berucap sumpah.

“Jika hidupku harus berkesudahan saat aku belum meraih apa yang harusnya kudapatkan, maka terjadilah. Demi Tuhan, aku akan kembali ke dunia dan menyeret Iblis itu kembali ke Pintu Neraka dengan tanganku sendiri.”

Tunggu.

Inhumanics

Sok kebarat-baratan, bergaya mentereng, bertopeng pencitraan seolah maestro nomer wahid sumber segala maha karya. Percaya diri selangit macam bintang paling terang seantero jagat raya.

Obral kata-kata, mengumbar janji surga dalam pasal-pasal bertingkah macam profesional. Sekumpulan eksekutif yang nyata-nyata asal-asalan asal dibilang kompeten. Pret. Padahal ternyata impoten.

Gombal. Berkaca sebelum berkoar-koar berkarya. Jangan asal berbuat kalau belum mampu menyelesaikan. Jangan menuntut hak ini itu kalau kewajiban paling sederhana saja tidak mampu menjalankan.

Mau cari apa lagi sih, BOS? Duit masih kurang cukup di kutang istri sampai masih santai mengumbar hutang. Hebat memang rasanya bertengger di atas kekuasaan. Persetan yang dibawah merengek-rengek yang harusnya didapatkan.

Hidup selamanya? Silahkan. Makan saja semuanya yang mau kalian makan, manusia-manusia tak berperasaan. Semoga kalian senang.

Respect: None

Sibuk bicara soal kualitas, perubahan, menjadi lebih baik dan segalanya. Berceramah tentang nilai dan tatanan yang katanya ideal. Memperbaiki yang dibilangnya rusak, mengubah yang dirasanya tak lagi patut ada.

Menilai adalah wajar, selama mau berkaca pada kelemahan diri sendiri. Pada realita yang nyata ada. Bukan merasa paling superior lantas enggan melangkah bersama yang dianggapnya tak pantas mendampingi. Tak layak untuk maju bersama hanya karena beda cara. Tendang saja karena dicap kacangan tak bernilai. Bagaikan sampah yang merusak indahnya ide-ide cantik jelita.

Kawan, ego adalah pembunuh intelektualitas. Sekalipun otak cemerlang tanpa cela, tapi tanpa hati dan etika saling menghargai sesama maka itu semua percuma belaka. Mungkin anda akan maju sendiri, meraih pengakuan yang dikejar-kejar selama ini. Berdiri di tempat yang dulu jadi mimpi. Mungkin saja.

Tapi buat sebagian mereka yang anda abaikan, anda kehilangan satu yang idealnya harus didapatkan setiap orang hebat di dunia ini atas pencapaiannya.

Rasa hormat.

Mofo

Kerja pakai hati. Bicara dengan isi. Ada makna, sampaikan realita. Bukan tipu daya asal kepentingan terlaksana. Seenaknya macam satwa tak punya budaya. Binatang tak beradab.

Muka tak tau malu. Tak punya kemaluan. Semaunya sendiri, asal-asalan lakukan tak perlu etika. Lupakan saja nilai-nilai. Asal selesai, sampah sekalipun dikemas supaya wangi. Walaupun aslinya tai.

Bajingan-bajingan asal bunyi. Tak peduli lagi kerja pakai hati. Hati siapa? Semua sudah mati.

Mampus.

Fallen

Jangan menumpahkan darah jika tak siap menyerahkan jiwa. Tak perlu memulai pertempuran kalau tak siap terluka. Jatuh dan mati sekalipun.

Berdiri di satu sisi. Bertahan dengan keyakinan yang diyakini. Kebenaran yang dipertahankan, walau entah kebenaran hakiki atau hanya ambisi ingin menang sendiri.

Berseberangan dengan lawan. Mungkin dulunya kawan yang kini tak lagi seiya sekata. Beda pemahaman, beda kemauan. Masing-masing semaunya sendiri. Tak perlu otak, tak butuh hati.

Manusia hanyalah sekumpulan jiwa dan raga yang saling berbeda. Tak perlu semua menjadi sama. Tidak harus semuanya menjadi satu dalam kata. Menyamakan sikap dan laku hanya untuk saling menipu.

Hadapi saja yang namanya perbedaan. Jalani yang diyakini sebagai kebenaran tanpa perlu memaksakan. Menjatuhkan karena merasa yang paling hebat dan tak terbantahkan.

Ingat saja kawan, manusia punya nyawa yang menghidupi. Bukan ego dan kesombongan yang menjalankan raga yang congkak. Menyuarakan kata-kata lantang dari lidah tak bertulang.

Dan kapanpun kawan, nyawa itu bisa hilang. Meninggalkan tubuh yang meregang sia-sia di ujung pedang
mereka yang bangkit melawan.